Selasa, 24 April 2012


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar belakang masalah
Latar belakang masalah yang di bahas dalam analisis roman di bawah lindungan ka’bah adalah tentang analisis setting, karena setting roman di bawah lindungan ka’bah sangat beragam dan sangat menarik untuk di analisis. Dengan demikian analisis setting roman di bawah lindungan ka’bah dilakukan sehingga dapat diketahui setting yang menarik dalam roman di bawah lindungan ka’bah.
1.2  Rumusan masalah
1.      Jenis setting apa saja yang terdapat pada roman di bawah lindungan ka’bah?
2.      Apakah terdapat seting waktu pada roman di bawah lindungan ka’bah?

1.3  Tujuan
Penulisan ini bertujuan untuk:
1.      Untuk melatih diri sendiri dalam segi menganalisis sebuah roman.
2.      Sebagai pembekalan diri sendiri.
3.      Sebagai latihan menulis analisis sebuah roman.

1.4  Manfaat
Penulisan ini bermanfaat untuk:
1.      Sebagai bekal untuk melakukan penelitian berikutnya.
2.      Hasil penulisan ini nantinya bisa di jadikan  sebagai bacaan.
3.      Memberikan wawasan untuk pembaca.
BAB II
2.1    Kajian teori
Kajian teori dalam tuliasan ini dalah sebagai berikut
Setting merupakan latar belakang yang membantu kejelasan jalan cerita, setting ini meliputi waktu, tempat, social budaya (Drs, Rustamaji, M.Pd, Agus Priantoro, S.Pd)
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu,menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungansosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abramsdalam Nurgiyantoro, 2007:216).
Latar memberi pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal inipenting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakansuasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Pembaca merasa dipermudah untuk ³mengoperasikan´ daya imainasinya,di samping dimungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungandengan pengetahuannya tentang latar. Pembaca dapat merasakan danmenilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi latar yang diceritakansehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olahmerasainiakan terjadi jika latar mampu mengangkat suasana tempat, warna lokal,lengkap dengan perwatakannya ke dalam cerita (Nurgiyantoro, 2007:217).Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitutempat, waktu, dan sosial (Nurgiyantoro, 2007:227).Ketiga unsur itu walaumasing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapatdibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan salingmemengaruhi satu dengan yang lainnya.Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yangdiceritakan dalam sebuah karya fiksi.Unsur tempat yang dipergunakanmungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu,mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas.Latar waktu berhubungandengan masalah ³kapan´ terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakandalam sebuah karya fiksi. Masalah ³kapan´ tersebut biasanyadihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapatdikaitkan dengan peristiwa sejarah.Latar sosial menyaran pada hal-halyang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatutempat yang diceritakan dalam karya fiksi (Nurgiyantoro, 2007:233).Badrun (1983:89) menyatakan bahwa tempat kejadian ceritamerupakan salah satu faktor pembantu untuk memperjelas cerita yangdikarang. Kejelasan setting akan memengaruhi nilai sebuah cerita. Olehsebab itu, pengertiansetting meliputi latar belakang fisik, ruang danlingkungan tempat terjadinya cerita.Dengan lukisan latar yang tetap, cerita akan menjadi lebih mantap.Peristiwa-peristiwa yang terjadi akan mudah diterima pembaca sebagaisesuatu yang wajar. Di dalam menyusun suatu cerita, peristiwa-peristiwa dan waktu terjadinya harus jaga benar-benar agar menjadi terang didalam pikiran pembaca. Iklim dan periode sejarah dapat pula membantumemberikan kejelasan kepada pembaca. Iklim perang, damai, perioderevolusi fisik, periode pembangunan, dan sebagainya dapat mejadi latar dari berbagai peristiwa, bahkan dapat menjelaskan watak pelaku. Jelaslahsekarang bahwa di samping latar belakang fisik yang dapat dilihat, waktu,iklim, atau suasana, dan periode sejarah juga merupakan bagian latar (Kusdiratin, 1985:70).Dapat disimpulkan bahwa latar pada dasarnya tempat yangmelingkungi pelaku atau tempat terjadinya peristiwa. Tempat tersebutberhubungan pula dengan hal-hal yang di sekitarnya termasuk alat-alatatau benda-benda yang berhubungan dengan tempat terjadinya peristiwaiklim atau suasana dan periode sejarah

BAB III
DATA PAPARAN DATA DAN PEMBAHASAN
3.1    Data paparan
Sinopsis
Hamid seorang anak yatim dan miskin. Dia kemudian diangkat oleh keluarga kaya,yaitu keluarga Haji Ja’far dan istrinya Asiah terhadap Hamid sangat baik. Hamid seakan-akan telah dianggapnya sebagai anak mereka sendiri. Mereka begitu sayang sama Hamid, sebab Hamid termasuk seorang anak yang rajin,sopan,berbudi serta taat sekali terhadap agama. Itulah sebabnya Hamid juga mereka sekolahkan bersama-sama dengan Zainab anak kandung Haji Ja’far di sekolah rendah.
Hamid begitu sayang sama Zainab. Sebaliknya jauga Zainab, sangat sayang sama Hamid. Mereka sering pergi ke sekolah bersama-sama. Mereka juga bermain bersama-sama sepulang sekolah maupun selama di sekolah. Ketika kedua-duanya beranjak remaja, rupanya dalam dada masing-masing mulai tumbuh perasaan lain. Suatu perasaan selama ini belum pernah mereka rasakan. Hamid merasa bahwa rasa kasih sayang yang muncul dalam dadanya terhadap Zainab sudah melebihi rasa sayang kepada seorang adik seperti selama ini dia rasakan. Zainab juga ternyata mempunyai perasaan yang sama seperti yang dirasaka Hamid.
Setelah menamatkan sekolah rendahnya, Hamid melanjutkan lagi sekolahnya ke Padangpanjang. Sementara Zainab langsung dipingit oleh kedua orang tuanya. Maka, dengan berat hati, Hamid meninggalkan gadis itu. Selama di Padangpanjang, pemuda itu semakin menyadari perasaan cintanya terhadap Zainab. Perasaan rindu hendak bertemu dengan gadis itu semakin hari semakin menyiksa dirinya. Ia ingin selalu berada di dekatnya. Namun, ia tidak berani mengutarakan perasaan hatinya. Ia menyadari adanya jurang pemisah yang sangat dalam di antara mereka. Zainab berasal dari keluarga berada dan terpandang, sedangkan dia hanya berasal dari keluarga miskin. Itulah sebabnya rasanya cintanya yang bergelora terhadap Zainab hanya dipendam saja.
Hamid benar-benar harus mengubur perasaan cintanya kepada Zainab ketika Haji Ja’far, ayah Zainab yang sekaligus ayah angkatnya, meninggal dunia. Tidak lama kemudian, ibu kandungnya pun meninggal dunia. Betapa pilu hatinya ditinggalkan oleh kedua orang yang sangat dicintainya. Kini ia merasa hidup sebatang kara. Ia merasa tidak lebih sebagai pemuda yatim piatu yang miskin. Sejak kematian ayah angkatnya, Hamid tidak dapat menemui Zainab lagi karena gadis itu telah dipingit ketat oleh mamaknya.
Hati Hamid semakin hancur ketika ia mengetahui bahwa mamaknya, Asiah akan menjodohkan Zainab denga seorang pemuda yang memiliki hubungan kekerabatan dengan almarhum ayah angkatnya. Bahkan Mak Asiah menyuruh Hamid untuk membujuk Zainab agar gadis itu menerima pamuda pilihan ibunya sebagai calon suaminya. Betapa hancur hati Hamid menerima kenyataan itu. Cinta kasih kepada pujaan hatinya tidak akan pernah tercapai.
Dengan berat hati, Hamid menuruti kehendak Mak Asiah. Dia menemui Zainab dan membujuk gadis itu agar menerima pemuda pilihan mamaknya. Menerima kenyataan tersebut hati Zainab menjadi sangat sedih. Dalam hatinya, ia ingin menolak kehendak mamaknya, namun ia tidak mampu melakukannya. Maka dengan sangat terpaksa, ia menerima pemuda pilihan orang tuanya itu. Setelah kejadian itu Hamid memutuskan untuk pergi meninggalkan kampung halamannya. Ia tidak sanggup menanggung beban yang begitu berat. Itulah sebabnya, ia meninggalkan Zainab dan pergi ke Medan. Sesampainya di Medan, dia menulis surat kepada Zainab. Dalam suratnya, dia mencurahkan isi hatinya kepada gadis itu. Dari Medan, Hamid melanjutkan perjalanan menuju Singapura. Kemudian, dia pergi ke tanah suci Mekkah.
Betapa sedih dan hancurnya hati Zainab ketika ia menerima surat dari Hamid. Gadis itu merasa tersiksa karena iapun mencintai Hamid. Ia sangat merindukan pemuda itu. Namun, ia harus melupakan cintanya karena mamaknya telah menjodohkan dirinya dengan pemuda lain. Karena selalu dirundung kesedihan, Zainab menjadi sering sakit-sakitan dan ia kehilangan semangat hidupnya.
Sementara itu, Hamid pun selalu dirundung kegelisahan karena menahan beban rindunya kepada Zainab. Untuk menghapuskan kerinduaannya, dia bekerja pada sebuah penginapan milik seorang Syekh. Sambil bekerja, dia terus memperdalam ilmu agama Islam dengan tekun.
Setelah setahun berada di Mekkah, Hamid bertemu dengan Saleh, seorang teman kampungnya yang akan melaksanakan ibadah haji. Ketika itu saleh menjadi tamu di penginapan tempat Hamid bekerja. Istri Saleh, Rosna adalah teman dekat Zainab sehingga Hamid dapat mendengar kabar tentang Zainab. Dari penuturan saleh, dia mengetahui bahwa Zainab pun mencintai dirinya. Sejak kepergiannya, gadis itu sering sakit-sakitan. Ia sangat menderita batin karena dia menanggung rindu kepadanya. Ia juga mengetahui bahwa gadis itu tak jadi menikah dengan pemuda pilih ibunya karena suatu alasan.
Mendengar penuturan Saleh, Hamid merasa sedih sekaligus gembira. Dia sedih sebab Zainab dalam keadaan menderita batin. Di lain pihak, ia gembira sebab gadis itu ternyata mencintai dirinya. Artinya, ia tidak  bertepuk sebelah tangan. Selain itu, Zainab akan menjadi miliknya karena gadis itu tidak menjadi menikah  dengan pemuda pilihan  hati mamaknya. Setelah mengetahui kenyataan yang menggembirakan itu, Hamid memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya setelah ia menunaikan ibadah haji.
Sementara itu, Saleh mengirimkan surat kepada istrinya yang isinya menggambarkan pertemuannya dengan Hamid. Ia menceritakan bahwa Hamid  masih menantikan Zainab, dan ia pun  memberitahukan bahwa Hamid akan pulang ke kampung halamannya bila mereka telah selesai menunaikan ibadah haji.
Rosna memberi surat dari Saleh kepada Zainab. Ketika membaca surat itu, betapa gembiranya hati Zainab. Ia tidak pernah menyangka akan bertemu  kembali dengan  kekasih hatinya. Ia merasa tak sabar lagi menanti kedatangan kekasih hatinya. Segala kenangan indah bersama pemuda itu kembali menari-nari dalam pikirannya. Semua perasaannya itu ia ungkapkan melalui suratnya kepada Hamid.
Hamid menerima surat Zainab dengan suka cita. Semangatnya  untuk segera kembali ke kampung semakin menggebu-gebu. Dia sangat merindukan kekasihnya. Itulah sebabnya, dia memaksakan diri untuk tetap menunaikan ibadah haji sekalipun dalam keadaan sakit. Dia menjalankan setiap tahap yang wajib dilaksanakan untuk kesucian dan kemurnian ibadah haji dengan penuh semangat. Dalam keadaan sakit parah, ia tetap melakukan wukuf. Namun , sepulang melakukan wukuf di Padang Arafah, kondisi tubuhnya semakin melemah. Pada saat yang sama, Saleh mendapat kabar buruk dari istrinya bahwa Zainab telah meninggal dunia. Ia tidak ingin memberikan kabar tersebut kepada Hamid karena keadaan pemuda itu yang sedang sakit parah. Namun, Hamid mendesaknya untuk menceritakan surat tersebut.
Hati Hamid sangat terpukul mendengar  kenyataan itu. Namun karena keimanannya kuat, dia mampu menerima kenyataan pahit itu dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Keesokan harinya ia tetap memaksakan diri untuk berangkat ke Mina. Namun, dalam perjalanannya dia terjatuh, sehingga Saleh mengupah orang Badui untuk memapahnya. Setelah acara di Mina keduanya berangkat menuju ke Mesjidil Haram. Ketika mereka selesai mengelilingi Kabah, Hamid minta diberhentikan di Kiswah. Sambil memegang Kiswah itu ia mengucapkan “ Ya Rabbi, ya Tuhanku Yang Maha Pengasih dan Penyayang “ beberapa kali. Suaranya semakin melemah dan akhirnya berhenti untuk selama-lamanya. Hamid telah meninggal dunia di hadapan Kabah, rumah Allah, dan ia akan menuju ke sana.
KutipanNovel
Bagian 6, halaman 36 s/d 41
Saya  datang kerumah itu, rumah tempat saya bersenda gurau dengan Zainab diwaktu kecil. Rumah itu seakan-akan kehilangan semangat dan memang kehilangan semangat, karena bekas-bekas kematian masih kelihatan nyata. Pintu keluar terbuka sedikit dan saya ketuk daunnya yang menghadap kedalam; pintu terbuka ............ Zainab yang membukakan.
“ Abang Hamid!” katanya.
Waktu itu kelihatan nyata oleh saya mukanya merah, nampak sangat gembira melihat kedatangan saya. Baru sekali itu dan baru sesaat itu selama hidup saya melihat mukanya demikian, yang tak bisa saya gambarkan dan tuturkan dengan susunan kata, pendeknya wajah yang memberi saya pengharapan penuh.
“ Bang Hamid ! “ katanya menyambung perkataannya.
“ Sudah lama benar Abang tak datang kemari, lupa Abang agaknya kepada kami ! “
Gugup saya hendak menjawab ; saya pintar mengarang hanyal dan angan-angan, tetapi bila sampai dihadapannya saya menjadi seorang yang bodoh.
“ Tidak Zainab ,” jawabku dengan gugup; “ Tapi....... bukankah kita sama-sama kematian ? “
Seketika itu mukanya kembali ditekurkannya menghadapi kakinya, tangannya berpegang kepinggir pintu, rambutnya yang halus menutupi sebagaian keningnya dan sepatah katapun dia tak bicara lagi.
“ Zainab ,” ........kataku pula. “ Sebentar tidaklah saya.........pernah lupa hendak datang kemari, barangkali engkaulah agaknya yang........ lupa kepadaku “.
Mendengar itu ia bertambah menekur tak berani dia rupanya mengangkat mukanya lagi dan saya pun gugup pula hendak menambah perkataan. Memang bodoh saya ini, dan pengecut !
Tiba-tiba dalam saya menyediakan perkataan yang akan saya katakan pula dan dalam sedang merenungi kecantikan Zainab, kedengaranlah dari halaman bunyi telapak kaki Mak Asiah  menginjak batu ; Zainab mengangkat mukanya saya berkata, “ Itu ibu datang.”
Saya masih dalam kebingungan, Zainab lalu kehadapan saya menyambut ketadangan ibunya. Ketika sampai ke beranda dia berkata, “ Ini Bang Hamid telah datang .”
Mak Asiah masuk dengan gembira, seraya berkata, “ Sudah lama, Mid ? “
“ Baru sebentar ini, Mak “ jawabku.
Saya disuruhnya duduk, Zainab dengan segera pergi ke belakang memasak kopi sebagaimana kebiasaannya.
“ Hampir mamak terlalai dari janji kita. Tadi mamak pergi ke rumah orang sebelah, karena tidak lama lagi dia akan mengawinkan anaknya. “ dari sekarang menyiapkan yang perlu, maklumlah tetangga perlu bantu membantu.”
Saya dengarkan perkataannya, tetapi, pikiran saya masih ingat kepada kejadiaan tadi. Pikiran saya menjalar kemana-kemana, memikir-mikirkan tekur Zainab dan mukanya yang merah ketika mula-mula melihat saya; hanya suatu kejadian yang tiba-tiba itu atau adakah dia merasai sebagai yang saya rasai ? dalam pada itu Mak Asiah masih tetap membicarakan beberapa perkara, menyebut-nyebut jasa suaminya, menyebut kebaikan ibuku. Akhirnya sampailah pembicaraan kepada Zainab.
“ Bagaimanakah pikiranmu, Hamid, tentang adikmu Zainab ini ? “
Darahku berdebar, detik-detik jantungku berhenti.
“ Apakah yang mamak maksudkan ? “ tanya saya.
“ Segala kaum kerabat di darat telah bermupakat dengan mamak hendak mempertalikan Zainab dengan seorang kemenakan almarhum bapakmu, yang ada di darat itu. Dia sekarang  sedang bersekolah di Jawa. Maksud mereka dengan perkawinan itu supaya harta benda almarhum bapaknya dapat dijagai oleh kaum keluarga sendiri, oleh kemenakannya, sebab tidak ada saudara Zainab yang lain, dia anak tunggal. Pertunangan itu telah disepakati oleh yang patut-patut; jika tak ada aral melintang bulan dimuka ini hendak dipertunangkan saja dahulu, nanti dimana tamat sekolahnya akan dilangsungkan perkawinan. Katanya tanah pekuburan ayahnya masih merah, air matanya belum kering lagi. Itulah sebabnya engkau mamak suruh kemari, akan mamak lawan berunding. Mamak masih ingat pertalian dengan Zainab, masa engkau masih kecil dan masa sekolah; engkau banyak mengetahui tabiatnya, apalagi engkau tak dipandangnya oranglain lagi ; sukakah engkau Hamid menolong mamak ? “
Lama saya termenung.........
“ Mengapa engkau termenung, Hamid ? dapatkah engkau menolong mamak, melunakan hatinya dan membujuk dia supaya mau ? Hamid....... mamak percaya kepadamu sepenuh-penuhnya, sebagai mendiang bapakmu percaya kepada engkau !,
“ Apakah dapat saya tolong Mak ? saya seorang yang lemah. Sedangkan ibunya sendiri tak dapat mematuh dan melunakan hatinya, kononlah saya orang lain, anak semangnya. “
“ Jangan bicara begitu Hamid, engkau tidak mamak pandang orang lain lagi, almarhum telah memasukan kedalam golongan kami, walaupun beragih, tetapi tak bercerai. Maka di atas namanya hari ini, di atas nama Haji Ja’far, mamak meminta tolong melunakan hati adikmu.”
“ O, itu namanya perintah, saya kabulkan perintah mamak .”
Mukanya kelihatan gembira, meskipun dia tak sempat memperhatikan bagaimana perubahan muka saya yang telah buram. Sebentar sesudah itu Zainab datang membawa tiga cangkir kopi dan beberapa piring kue-kue. Ibunya melihat kepadanya dengan kasih dan mesra, karena di diri anaknya itulah tergantung pengharapannya yang penghabisan.
“ Duduk, Nab, Bang Hamidmu hendak berkata sepatah dua dengan engkau, “
Saya masih agak bingung dan Zainab telah duduk ke dekat ibunya dengan wajah kemalu-maluan.
Beberapa menit lamanya hening saja dalam ruangan itu, tak seorang pun di antara kami yang berkata-kata; ibunya seakan-akan menunggu supaya perkataan itu lekas dimulai, Zainab kelihatan agak gugup, tak mau melihat muka saya, sedang saya masih termenung memikirkan darimanakah pembicaraan itu akan saya mulai.
“ Bicarakanlah Hamid, banyak amat tempo terbuang, “ kata ibunya tiba-tiba.
Sulit sekali memulai pembicaraan itu, sulit menyuruh seseorang mengerjakan suatu pekerjaan yang berat hatinya melakukan, pekerjaan yang berlawanan dengan kehendak hatinya sendiri. Tetapi dibalik itu, sebagai seorang anak muda yang telah dicurahi orang kepercayaan dengan sepenuh-penuhnya, akhirnya hati saya dapat juga saya bulatkan dan saya mulailah berkata.
“ Begini Zainab..........sudah lama ayah meninggal semenjak itu lenganglah rumah ini, tiada seorang pembantu pun yang akan menjaganya. Selain dari itu, menurut aturan  hidup didunia, seorang gadis perlulah mengikuti perintah dan kehendak orang tuanya, terutama kita orang timur ini. Buat menunjukkan setia dan hormatnya kepada orang tuanya ia perlu menekan segala perasaan hati sendiri. Dia hanya mesti ingat sebuah saja yaitu mempergunakan diri baik murah atau mahal untuk berhidmat kepada orang tua.”
“ Sekarang, karena memikirkan kemuslihatan rumah tangga dan memikirkan hati ibumu, padahal hanya dia sendiri lagi yang dapat engkau hidmati, ia berkehendak supaya engkau mau dipersuamikan.......dipersuamikan dengan kemenakan ayahmu.”
Seakan-akan terlepas dari suatu beban yang mahaberat saya rasanya, setelah selesai perkataan yang sulit itu. Selama saya bicara Zainab masih tetap menekur ke meja, tangannya mempermainkan sebuah putung korek api, diremas-remasnya dan dipatah-patahnya, belum sebuah juga perkataan keluar dari mulutnya. Setelah kira-kira lima menit lamanya barulah mukanya di angkatnya, air matanya kelihatan menggelanggang, mengalir setitik dua titik ke pipinya yang halus montok itu.
“ Bagaimana, Zainab, jawablah perkataanku ! “
“ Belum Abang, saya belum hendak kawin.”
“ Atas nama ibu, atas nama almarhum ayahmu.”
“ Belum, Abang ! sampai hati Abang memaksa aku ? “
“ Abang bukan memaksa engkau, adik, ingatlah ibumu.”
Mendengar itu dia kembali terdiam, ibunya terdiam, ia telah menangis pula. Karam rasanya bumi ini saja pijakan, gelap tujuan yang akan saya tempuh. Dua kejadian hebat telah membayang dalam kehidupan saya sehari itu, tak ubahnya dengan seorang yang bermimpi mendapat sebutir mutiara di tepi lautan besar, sebelum mutiara itu dapat dibawa pulang, tiba-tiba sudah tersadar; meskipun mata dipaksa tidur kembali, mimpi yang tadi telah tinggal mimpi, ia telah tamat sehingga itu tidak ada sambungannya lagi. 
Analisis intrinsik
1.      Tokoh dan Penokohan
                      Hamid; pemuda yang berbudi luhur dan taat beragama. Ia adalah seorang anak yatim dari sebuah keluarga miskin. Ia diangkat oleh Haji Ja’far.
        Haji Ja’far ; seorang suadagar kaya yang berh        Asiah ; istri Haji Ja’far. Ia adalah sangat berbudi luhur.
 Zainab ; anak gadis Haji Ja’far. Ia adalah gadis yang berhati mulia, taat kepada kedua orang tuanya, dan selalu menjalankan perintah agama.
  Rosna ; teman sepermainan dan sahabat kental Zainab. Ia juga berbudi luhur dan taat kepada ajaran agama.
  Saleh ; sahabat karib yang berbudi luhur dan taat beragama. Dialah suami Rosna
Tema
Masalah kasih tak sampai antara dua orang kekasih karena perbedaan status sosial yang menjolok.
 Amanat
Status sosial tidak harus memjadi penghalang untuk saling mencintai antara dua orang anak manusia, dan betapa keberaniaan dari seorang laki-laki sangat dituntut dalam mengungkapkan rasa cinta tersebut.
.                  Latar
                              Latar tempat : Padang dan Mekkah
                              Latar waktu   : sekitar tahun 20-an

B.     Kaitan Tema Dengan Zaman
Pada saat novel ini dibuat adat Minangkabau pada saat itu masih sangat kental. Seorang anak perempuan apabila telah tiba saatnya harus masuk ke dalam pingitan keluarga, ia tidak boleh berhubungan bebas dengan dunia luar ( lelaki dewasa ), sampai tiba saat ada pria yang melamarnya atau dijodohkan dengan kerabatnya yang merupakan hasil kesepakatan keluarga dengan tujuan untuk menjaga status sosial dan memelihara harta warisan. Karena kondisi seperti itu akan sangat sulit apabila ada cinta di antara dua status sosial yang berbeda, seperti yang dialami oleh Hamid yang miskin dan Zainab yang terpandang.
3.2    Pembahasan
Ada beberapa setting yang terdapat pada roman di bawah lindungan ka’bah   yaitu setting tempat, dan pericianaya adalah sebagai berikut :
”waktu itu saya naik haji. Dari pelabuhan belawan saya telah berlayar ke jedah(7:3 DLK),dua hari kemudian sayapun sampai di mekah, tanah suci kaum muslimin sedunia (7:3 DLK), sahabat saya yang baru itu amat terkejut melihat bahwa sahabat saya ada di mekah (7:2 DLK), hanya dua atau tiga hari saja sebelum pergi naik haji akan tinggal di mekah (7:4 DLK), rumah tempatnya tinggal melihat tenang-tenang kepada “gela’ah” (benteng-benteng) tua di atas puncak jabal hindi (11:2 DLK), di atas sebuah bangku yang berhamparan daun kurma berjalin      (12:1 DLK), lantaran malu, ayah pindah ke kota padang (15:3 DLK), tinggal dalam rumah kecil yang kami diami itu (15:3 DLK), hanya duduk dalam rumah di dekat ibu, mengerjakan apa yang dapat saya tolong (16:2 DLK), saya sanggup menjualkannya dari lorong ke lorong, dari satu beranda rumah orang ke beranda yang lainya (16:3 DLK), di dekat rumah kami ada sebuah gedung besar berpekarangan yang cukup luas (17:3 DLK), rumah itu sudah lama tinggal kosong, karena yang empuhnya, seorang belanda telah pulang ke eropa (17:3 DLK), tiba-tiba rumah itu kembali diperbaiki (18:2 DLK), setelah saya akan meninggalkan halaman rumah itu (19:1 DLK), setelah itu sayapun pulang, sampai di rumah saya katakanlah kepada ibu perkataan orang di gedung besar itu (20:3 DLK), sejak itu saya telah leluasa datang ke rumah itu (21:2 DLK), sudah dua tiga kali saya datang ke rumah yang indah dan bagus itu     (19:4 DLK), dari sekolah rendah (H.I.S) saya sama-sama naik dengan anaknya menduduki mulo (24:4 DLK), pergilah kami berziarah ke perkuburan Ma’ala,tempat hamid dikuburkan (82:1 DLK), di arafah benar panasnya (75:2 DLK), tiba-tiba dari tempat tidurnya, hamid berkata (76:3 DLK), jama’ah-jama’ah telah kembali dari ziarah besar ke madinah (70:2 DLK),  di rumah yang indah-indah dan gedung yang permai-permai yang kiri kanannya di kelilingi oleh kebun-kebun yang subur (57:3 DLK), setip malam saya duduk beri’tikaf di dalam mesjidil haram (54:3 DLK), setelah saya sampai di medan saya buat surat kepada zainab (52:1 DLK), tiada saya di medan, saya menuju ke singapura (53:1 DLK), mengembara ke Bangkok, berlayar terus memasuki tanah-tanah Hindustan, dan dari karakhi berlayar menuju ke basrah, masuk ke irak, melalui sahara nejd dan akhirnya sampailah saya ke tanah suci ini (54:4 DLK), rumah tempat kami tinggal hannya sebuah rumah kecil yang sudah tua, yang lebih pantas kalau disebut gubuk atau dangau (14:2 DLK).
Dari pernyataan di atas dapat di pastikan setting tempat dalam roman di bawah lindungan ka’bah sanggatlah beragam.
Di dalam roman di bawah lindungan ka’bah juga terdapat setting waktu,dapat di perjelas dengan penjelasan sebagai berikut :
Waktu itu saya naik haji (7:3 DLK), baharu dua bulan saja, semenjak awal ramadhan sampai syawal (10:2 DLK), pada suatu malam sedang duduk seorang dirinya di atas suntuh (12:1 DLK), massa saya masih berusia 4 tahun,ayah saya telah wafat (14:2 DLK), di waktu malam, ketika akan tidur kerap kali ibu menceritakaan kebaikan ayah semasa beliau hidup (13:2 DLK), anak-anak yang lain di waktu pagi masuk bangku sekolah, saya sendiri tidak (17:2 DLK), umur saya telah masuk 6 tahun, setahun lagi sudah mesti menduduki bangku sekolah (17:2 DLK), tiap-tiap pagi saya slalu di hadapkan rumah itu (18:4 DLK), pada sore harinya dengan takut-takut cemas pergilah dia ke rumah besar itu (20:3 DLK), pada suatu pagi saya datang ke muka ibu saya,dengan perasaan yang sangat gembira (22:1 DLK), suatu kali kelihatan oleh saya, sedang saya mengerjakan thawaf keliling ka’bah (11:2DLK), besok paginya, saya tidak menjunjung nyiru tempat kue lagi (22:3 DLK), kadang-kadang di waktu sore kami duduk di beranda muka, membalik-balik buku gambar, bertengkar dan berkelahi, kemuduan damai pula (23:3 DLK), hari minggu kami diizinkan pergi ke tepi laut, ke muara atau ke tepi batang arau (23:4 DLK), waktu itu kelihatan nyata oleh saya mukanya merah (42:4 DLK),berapa menit lamanya hening saja dalam ruangan itu (47:2 DLK), bertahun-tahun kami hidup laksana berkakak (60:4 DLK), pada suatu hari, hari yang tiada dapat saya lupakan, ia datang ke rumah ini menemui ibu (63:2 DLK), waktu itu isteriku menjawab (65:4 DLK), sepuluh hari sebelum orang-orang haji berangkat ke arafah mengerjakan wukuf (70:3 DLK), pada hari ke delapan bulan zu’lhijjah datang (74:1 DLK), pukul 4 sore kami tawaf keliling ka’bah (82:7 DLK), sehari sebelum kami meninggalkan mekah (82:1 DLK)
Dari pernyatataan di atas dapat di simpulkan bahwa roman di bawah lindungan ka’bah ini sangat berpariatif, terutama dalam hal setting. Dari setting tempat hingga setting waktunya sendiri sangatlah berfariatif.

BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
            Novel adalah salah satu bentuk dari sebuah karya sastra. Novel merupakan cerita fiksi dalam bentuk tulisan atau kata-kata dan mempunyai unsur instrinsik dan ekstrinsik. Sebuah novel biasanya menceritakan tentang kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sesamanya. Dalam sebuah novel, si pengarang berusaha semaksimal mungkin untuk  mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita kehidupan melalui cerita yang terkandung dalam novel tersebut.
4.2 Saran
            Makalah yang kami buat belum sempurna  sesuai yang diharapkan. Masih terdapat banyak kekurangan maupun kesalahan. Kami juga menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itulah penulis akan menerima dengan senang hati dan penuh rasa hormat akan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga penelitian ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca dan bagi para mereka yang membutuhkannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar